alkisah
suatu hari setelah sekian lama memendam sebuah luka terhadap ayahnya,
akhirnya sang anak tak mampu lagi menahan segala kemarahan hatinya,
segala kekecewaan yang dirasakanya, kemarahan dan kekecewaan akan sikap
ayah yang membiarkannya sendiri belajar, tanpa memberi tahu mana yang
baik, mana yang buruk, mana yang boleh, mana yang tidak boleh,
membiarkannya tanpa pengajaran dan pembekalan apapun, sehingga sang anak
untuk mengetahui manis pahitnya, enak tidak enaknya kue itu,mesti harus
merasakannya sendiri, begitulah kepahitan-kepahitan itu mulai menjelma
menjadi pisau-pisau yang menyayat hati. aku tidak mengerti mengapa ayah
masih saja tetap begitu, meski melihatku yang sering hampir mati, yang
sering sakit panjang, ayah masih saja kukuh dengan pendiriannya,
membiarkanku belajar sendiri, aku tak mengerti mengapa ia begitu adanya,
seakan telah menyerahkan hidup mati anaknya kepada alam. ayah aku ingin
bertanya kepadamu, kenapa engkau perlakukan aku begitu, kenapa, engkau
biarkan aku sendiri menghadapi dan merasakan pahit manisnya dunia ini,
sementara aku tak tahu apa yang ada didalamnya, kenapa ayah, engkau
biarkan aku berjalan tanpa perbekalan, hingga tak ada sepatah kata
nasehatpun yang keluar dari bibirmu, apakah engkau tidak menyayangi aku.
mendengar luapan kekecewaan anaknya, sang ayah tersenyum saja
mendengarnya dan berkata, wahai anakku, maafkan ayah atas semua hal itu,
bukanlah ayah yang menyerahkanmu, tapi alamlah yang meminta, ayah untuk
menyerahkanmu. anakku nanti engkau akan tahu apakah ayah melakukan hal
ini karena tidak sayang atau justru sebaliknya, karna sayang. mendengar
jawaban yang singkat dan tidak tuntas itu, sang anak tak mampu
menerimanya, hingga berkata,aku benci kepada ayah dan berlalu pergi.
dalam hati sang ayah bicara, anakku andai engkau tau, bahwa aku tak
pernah membiarkanmu, dalam diamku, aku selalu mengawasimu, mata dan
telingaku meski dari jauh, lebih jelas melihatmu dan mendengarmu, dari
pada mereka yang ada didekatmu, anakku andai engkau tahu, betapa sedih
hatiku, saat melihatmu sering hampir mati dan sakit-sakitan, tapi ayah
takkan memperlihatkan kepadamu luka itu, begitulah kesepakatan ayah
kepada alam, dan ayah percaya kepada janjinya atasmu, suatu saat nanti
engkau akan mengerti, kenapa ayah lakukan hal itu.
tahun demi tahun satu persatu akhirnya menjadi masa lalu, masa yang tidak mungkin kembali lagi untuk diulang, sedangkan ada jejak-jejak luka yang telah di iris oleh lidah ini kepada hati yang sebenarnya bermaksud baik untukku, sebuah hati yang telah melihat jalan takdirku, yang berbuat itu semata-mata agar aku memenuhi jalan itu, hati itu adalah hati ayahku, sebuah luka yang kuiris dengan prasangka tanpa ilmu, dan kini aku menyadari, mengapa ayah lakukan itu, aku telah merasakan dan mengalami banyak keajaiban dan kebaikan akan hal itu, yang sulit untuk ku ungkapkan pada orang lain. ayah meski kutahu tak mudah untuk menghapus jejak luka dulu, aku memohon maafmu, ayah terima kasih atas semua hal itu.
tahun demi tahun satu persatu akhirnya menjadi masa lalu, masa yang tidak mungkin kembali lagi untuk diulang, sedangkan ada jejak-jejak luka yang telah di iris oleh lidah ini kepada hati yang sebenarnya bermaksud baik untukku, sebuah hati yang telah melihat jalan takdirku, yang berbuat itu semata-mata agar aku memenuhi jalan itu, hati itu adalah hati ayahku, sebuah luka yang kuiris dengan prasangka tanpa ilmu, dan kini aku menyadari, mengapa ayah lakukan itu, aku telah merasakan dan mengalami banyak keajaiban dan kebaikan akan hal itu, yang sulit untuk ku ungkapkan pada orang lain. ayah meski kutahu tak mudah untuk menghapus jejak luka dulu, aku memohon maafmu, ayah terima kasih atas semua hal itu.